Kisah Pengorbanan dan Pengabdian Syekh at-Turmudzi kepada Ibunya
Dikisahkan, ketika masih muda, at-Turmudzi berniat untuk pergi mondok ke luar daerah, mengikuti jejak sahabat-sahabatnya yang sudah lebih dulu berangkat. Sebelum berangkat, at-Turmudzi muda menyampaikan rencananya itu kepada ibunya. Namun, ibunya yang sedang terbaring sakit tidak merestui niat mulianya tersebut.
"Nak, ibumu ini sedang sakit dan tak berdaya. Ibu hanya punya kamu seorang. Kalau kamu mondok, siapa yang akan menemani ibu?" ungkap ibunya penuh harap agar at-Turmudzi tidak meninggalkannya seorang diri.
Jawaban ibunya itu bagaikan anak panah yang melesat tepat di hati Syekh at-Turmudzi. Hatinya terenyuh dan sedih. Tanpa pilihan lain, ia pun memutuskan untuk membatalkan niatnya belajar agama ke luar daerah dan memilih tinggal di rumah untuk menemani serta merawat ibunya.
Waktu berjalan seperti biasa. Namun, hari-hari Syekh at-Turmudzi masih dipenuhi kegundahan karena keinginannya mencari ilmu tak kunjung terlaksana. Di sisi lain, ia tak bisa meninggalkan ibunya seorang diri.
Kesedihan Syekh at-Turmudzi mencapai puncaknya, hingga suatu hari ia pergi ke maqbarah (kuburan). Selain berniat ziarah, ia juga ingin melepaskan semua keluh kesah dan kegundahan yang dirasakannya. Tanpa disadari, air matanya mengalir deras.
"Aku adalah orang bodoh, sementara sahabat-sahabatku yang sedang mencari ilmu sebentar lagi akan pulang dengan segudang ilmu," sesalnya sambil menangis di atas maqbarah.
Saat Syekh at-Turmudzi bergelut dengan emosinya, tiba-tiba muncul seorang kakek yang tak dikenal. Kakek ini langsung menyapa dan menanyakan penyebab kesedihannya yang mendalam. Tanpa pikir panjang, Syekh at-Turmudzi menjawab dan mencurahkan semua kesedihannya.
"Saya ingin mondok, tapi keinginan itu tak mungkin terwujud karena saya harus menemani dan menjaga ibu yang sedang sakit," jawabnya.
Kakek itu kemudian menawarkan kepada Syekh at-Turmudzi untuk belajar ilmu kepadanya.
"Apakah kamu mau belajar kepadaku? Kamu tidak perlu lama belajar. Nanti kalau sahabat-sahabatmu sudah kembali, kita akhiri belajarnya," ujarnya.
Syekh at-Turmudzi pun menerima tawaran ini dengan gembira karena keinginannya untuk belajar akhirnya terwujud, meskipun mungkin hanya sebentar. Sejak saat itu, keduanya bertemu setiap hari untuk belajar dan mengajar.
Hari-hari berlalu, keilmuan Syekh at-Turmudzi meningkat drastis. Beberapa waktu kemudian ia menyadari bahwa kakek yang selama ini menjadi gurunya adalah Nabi Khidir. Ia bersyukur dan menyadari bahwa anugerah yang ia dapatkan adalah berkat doa dari ibunya.
Begitulah ibu, bisa menjadi keramat bagi anaknya yang berbakti dan bisa membawa laknat kepada anaknya yang durhaka.